Sering dijumpai pertanyaan tentang perbedaan antara Wajib dan Fardhu. Apakah Wajib dan Fardhu adalah lafadz yang sinonim (beda lafadz tapi satu arti) atau Wajib dan Fardhu adalah lafadz akronim (beda lafadz dan arti) Sehingga menuntut berbeda dalam pemahaman dan aplikasi hukumnya?
Imam Haramain (419 H – 478 H) menjelaskan dalam al-Waraqat bahwa Wajib adalah:
مايثاب على فعله ويعاقب على تركه
“Sesuatu yang berpahala jika dilakukan, dan berakibat siksa jika ditinggalkan”.
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili (1932 M – 2015 M), Ini adalah pendefinisian dengan menyebut karekter khasnya (ta’rif bil khawash)[¹]. Sedangkan definisi wajib dengan dengan ta’rif hadd[²] adalah sebagai berikut:
ما يطلب فعله طلبا جازما
“Sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas”.
Di kalangan Syafi’iyah dan menurut mayoritas ulama “Wajib” dan “Fardhu”, begitu juga lafadz Lazim, Muhattam dan Maktubah mempunyai arti sama (sinonim). Dalam madzhab Syafi’i, makna “Wajib” dan “Fardhu” hanya berbeda dalam masalah haji saja. Selain haji, semuanya sama.
Dalam urusan haji, wajib adalah setiap amalan yang berkaitan dengan keabsahan haji, namun tidak berdampak pada kebatalan haji bila tidak dikerjakan. Misalnya, melempar jamrah dan ihram dari miqat. Kalau tidak melakukan ihram dari miqat hajinya tetap sah, tetapi wajib membayar dam.
Sementara fardhu berati setiap amalan yang berkaitan dengan sah atau tidaknya haji. Kalau dikerjakan hajinya sah, kalau tidak dikerjakan hajinya batal. Misalnya, wukuf di Arafah, tawaf ifadhah, dan lain-lain. Jemaah haji yang tidak wukuf di Arafah tidak sah hajinya dan wajib mengulanginya.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, istilah “Wajib” dan Fardhu” memiliki arti yang berbeda. Mereka mendefiniskan kedua, masing-masing sebagai berikut:
Fardhu adalah:
ماثبت بدليل قطعي
“Perintah yang ditetapkan melalui dalil yang qath’i (keberadaan sumbernya pasti)”. Sebagaimana al-Qur’an dan hadist Mutawatir. Seperti keharusan membaca al-Qur’an dalam shalat, berdasarkan firman Allah:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran..” (QS. Al Muzammil:20).
Dari ketentuan ini, Ulama Hanfiyyah berpandangan jika dalam sholat al-Qur’an tidak baca, maka ada konsekwensi dosa, sekaligus ketidak absahan sholat terbut.
Wajib adalah:
ماثبت بدليل ظني
“Perintah yang ditetapkan melalui dalil yang dhanni (keberadaan sumbernya sebatas prasangka, asumtif)”. Sebagaimana hadist Ahad dan qiyas yang madhun (qiyas yang taraf kebenarannya sebatas asumtif). Seperti keharusan membaca al-Fatihah dalam sholat, berdasarkan sebuah hadist Ahad:
لا صَلاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah).”
Dari ketentuan ini, jika dalam sholat surat al-Fatihah tidak dibaca, maka ada konsekwensi dosa, akan tetapi shalat tetap sah menurut mereka, kalangan Hanafiyyah.
Berdasarkan perbedaan di atas, kalangan Hanafiyyah menyatakan bahwa sholat witir, zakat fitrah dan kurban hukumnya wajib[³].
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
[¹] Definisi mengunakan pedekatan eskternal untuk membedakan dengan lainnya dalam menjelaskan esensi. Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, 2001, juz 1 hlm. 46
[²] Tentang ta’rif hadd dan ta’rif rasm bisa dilihat dalam pembahasan mantiq.
[³] Lathaifu al-Isyarat, hlm. 1. At-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul, hlm. 58. Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqhi, juz 1, hlm. 144-145.