Seorang teman nyeletuk bertanya. Apa alasan yang mendasari ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah yang diikuti mayoritas ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikan “Fardhu dan “Wajib”?
Syaikh Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-‘Ithor asy-Syafi’i (1766 M/1180 H – 1835 M/1250 H) dalam Hasyiyah Al-‘Ithor ala Syarhi al-Jalali al-Malli ala Jam’i al-Jawami’ menjelaskan: Menurut kalangan Hanafiyyah “Fardhu” tidak bisa disebut “Wajib”, kerena mereka meninjau dari segi bahasa. Lafadz “Fardhu” berasal dari ungkapan kata: َفَرَضَ الشَّيْء dengan arti: حَزَّه أي قَطَعَ بَعْضَه (memotong sebagian). Sedangkan lafadz “Wajib” berasal dari ungkapan kata: َوَجَبَ الشَّيْءُ وَجْبَةً سَقَط (gugur). Sesuatu yang tetap dengan dalil Dzanni (asumtif), dianggap gugur (turun) dari level yakin (pasti).
Sedangkan menurut kalangan Syafi’iyyah mengatakan, tinjauan bahasa tetap berkonsekwensi kesamaan hakikat “Fardhu” dan “Wajib”. Lafadz “Fardhu” berasal dari ungkapa kata: ُفَرَضَ الشَّيْءَ : قَدَّرَه (menetapkan kadar ukuran), dan lafadz “Wajib” berasal dari ungkapan kata: َوَوَجَبَ الشَّيْءُ وُجُوباً أي ثَبَت (menetap). Masing-Masing dari al-Muqaddar (yang ditetapkan ukurannya) dan ats-Tsabit (yang tetap), lebih umum dari sekedar ditetapkan dengan dalil Qath’i (pasti) atau Dzanni (asumtif). Pengambilan ini menurut kalangan Syafi’iyyah lebih banyak digunakan dan diantara dalil yang menunjukkan kesamaan arti keduanya adalah hadist Suraqah yang bertanya:
هَلْ عَلَيَّ غَيْرَهَا، قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ
“Apakah ada kewajiban lain atasku? Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, kecuali engkau berbuat kesunnahan”. Beliau tidak menjadikan sebuah perantara (penengah-nengah) antara Fardhu dan Tathawwu’ (kesunnahan). Sesuatu diluar Fardhu pastilah masuk dalam Tathawwu'[¹].
Sebagian ulama seperti al-Midi (551 H – 631 H ) ar-Razi (544 H – 606 M) mengatakan bahwa silang pendapat yang terjadi antara kedua kalangan tersebut hanya retorika lafadz atau bukan bersifat prinsipil. Sedangkan keterangan terdahulu, bahwa meninggalkan bacaan al-Fatihah di dalam sholat tidak membatalkan menurut kalangan Hanafiyyah dan membatalkan menurut kalangan Syafi’iyyah, tidak mempengaruhi eksistensi penyebutan silang pendapat bersifat retorika lafadz. Karena persoalan tersebut sudah masuk dalam ranah fiqhiyyah yang tidak dipersoalkan dalam penamaan Fardhu dan wajib dalam membahasan ini.
Sementara Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Ushul Al-Fikhu al-Islami menyatakan: Saya peribadi lebih setuju pada apa yang diistilahkan kalanhan Syafi’iyyah dan mayoritas ulama (lafadz fardhu dan wajib adalah sinonim) karena perbedaan metode penetapan suatu yang wajib dalam segi kuat dan tidaknya dalil, tidak bisa dibuat menetapkan perbedaan perkara wajib dalam hakikatnya dari segi ia disebut suatu yang wajib dan Syari’, Sang Pembuat Syari’ah (Allah ﷻ) telah menyebutkan kata “Fardhu” sebagai kata ganti wajib seperti firman Allah ﷻ:
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ
“Barang siapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan berbantah–bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al Bagarah: 197).
Kata “Fardhu dalam Ayat tersebut bermakna: أوجب (mewajibkan) disamping itu para ulama ummat telah sepakat penyebutan kata “Fardhu” dalam setiap pelaksaan sholat yang berbeda sebagai syarat sah dan tidaknya. Sedangkan asal dari penyebutan sebuah kata adalah menunjukan makna esensi (hakikat).
Menurut Syaikh Az-Zarkasyi ( 745 H-794 H) hakikat dari arti “Fardhu” dan “Wajib” adalah sama, yaitu suatu yang harus dikerjakan oleh orang mukallaf dan apabila ditinggalkan akan berakibat siksa dari Allah ﷻ. Dalam hal inilah kesepekatan para ulama terjadi.
Kesimpulannya, semua perbedaan pendapat di atas tidak lebih hanya pada penekanan terhadap terma (istilah) yang digunakan. Karena secara substansial, baik Hanafiyyah maupun Syafi’iyyah atau mayoritas ulama sama. Makanya ada ungkapan:
لا مشاحة فى الإصطلاح
“Tidak ada perdebatan dalam istilah” sebagaimana al-Ghozali mengatakan:
ولا حجر فى الإصطلاحات بعد فهم المعانى
“Tidak ada masalah dalam setiap istilah setelah memahami maknanya” [²].
Wallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
[¹] Hasyiyah Al-‘Ithor ala Syarhi al-Jalali al-Malli ala Jam’i al-Jawami’, juz. 1, hlm. 91-92. Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fikh, juz. 1, hlm. 144
[²] Ushul al-Fikh al-Islami, juz 1, hlm. 47-48.
Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fikh, juz. 1, hlm.240-244.