Di antara shalat sunnah yang dianjurkan Rasulullah ﷺ adalah shalat Dhuha. Hukum shalat Dhuha adalah sunnah mu’akad yaitu shalat sunah yang dikerjakan pada waktu saat naiknya matahari setinggi tombak (terbit matahari + 15 menit) sampai waktu tergelincirnya matahari (waktu dhuhur – 15 menit). Jumlah rakaat yang dikerjakan minimal dua raka’at, boleh empat raka’at, delapan raka’at hingga dua belas raka’at. Sedangkan mengenai hitungan banyaknya raka’at dan yang lebih utama para ulama bebeda pendapat.
Syaikh Ibrahim al-Bajuri dalan Hasyiyah al-Bajurinya mengatakan:
قوله (وأقلها ركعتان) وأدنى الكمال أربع وأفضل منه ست وأفضلها وأكثرها ثمان ركعات على الصحيح المعتمد خلافا لمن أفضلها ثمان وأكثرها عددا اثنتا عشرة ركعة وهو الذي مشي عليه الشارح وهو ضعيف.
“Menurut pendapat yang shahih dan mu’tamad, paling sedikitnya (jumlah raka’at shalat Dhuha adalah dua raka’at), dan hitungan raka’at shalat Dhuha yang mendekati sempurna adalah empat raka’at. Sedangkan paling utama dan paling banyaknya jumlah raka’at shalat Dhuha adalah delapan raka’at. Hal ini berbeda dengan pendapat ulama yang mengatakan bahwa paling utamanya jumlah raka’at shalat Dhuha adalah delapan raka’at dan paling banyaknya adalah dua belas raka’at yang dianut oleh pensyarah dan ini adalah pendapat yang lemah.”
Syaikh Abu Bakar Syatha (w. 1300 H) dalam kitab I’anatu ath-Thalibinnya saat membarikan catatan tambahan mengenai pernyataan Syaikh Zainuddin al-Malibariy dalam kitab Fathu al-Mu’in mengatakan:
(ويندب أن يسلم من كل ركعتين) أي لخبر أم هانئ قالت: صلى النبي ﷺ سبحة الضحى ثمان ركعات يسلم من كل ركعتين. ولو جمع بين الثمان أو الاثنتي عشرة بإحرام واحد جاز.
“Disunnahkan dalam shalat Dhuha, melakukan salam di setiap dua raka’at karena ada hadits dari Ummi Hani’ yang berkata: Nabi ﷺ pernah melaksanakan shalat Dhuha depan raka’at dengan melakukan salam dalam setiap dua raka’atnya. Lalu seandainya (seorang) melakukan shalat Dhuha delapan raka’at atau dua belas raka’at dengan satu kali takbiral ihram (satu salaman), maka hal itu diperkenankan.”
Salanjutnya Syaikh Abu Bakar Syatha kembali memberi penjalesan tambahan atas pernyataan Syaikh Zainuddin al-Malibariy dalam kitab yang sama: “Bahwa dalam shalat Dhuha disunnahkan membaca dua Surat asy-Syamsyi dan adh-Dhuha, serta Surat al-Kafirun dan Surat al-Ikhlas menurut keterengan hadits yang lain” mengatakan: “Dalam Hawasyi al-Khatib, al-Imam Jaluddin as-Suyuthi menyebutkan:
أن الأفضل أن يقراء في ركعة الأولى منها بعد الفاتحة سورة الشمس بتمامها، وفي الثاني الفاتحة وسورة الضحى للمناسبة ولما ورد في ذلك. واتبعه ابن حجر . لكن الذي ذهب إليه م ر واعتمده أنه يقراء في الأولى الكافرون، والثانية الإخلاص، ويفعل ذلك في كل ركعة منها قال: وهما أفضل في ذلك من الشمس والضحى وإن وردتا أيضا. إذ السورة الأولى تعدل ربع القرأن والثانية ثلث القرأن ﺍﮬــ. وعلى هذا فالجمع بين القولين أولى بأن يقراء في الأولى سورة الشمس والكافرون وفي الثانية والضحى والإخلاص، ثم باقي الركعات يقتصر على الكافرون والإخلاص. ﺍﮬــ. مخلصا.
“Sesungguhnya yang paling utama dalam shalat Dhuha di raka’at yang pertama setelah al-Fatihah membaca Surat asy-Syamsu dengan sempurna dan di raka’at yang kedua setelah al-Fatihah membaca Surat adh-Dhuha karena lebih serasi dan karena ada keterangan hadits yang menyatakan hal itu. Pendapat ini dianut oleh Imam Ibnu Hajar tetapi bila mengikuti pendapat Imam Ramli bacaan Surat yang lebih utama di raka’at yang pertama adalah Surat al-Kafirun dan di raka’at kedua adalah Surat al-Ikhlas yang dibaca pada setiap raka’atnya. Menurut Imam Ramli, dua Surat ini lebih utama dibaca dibanding dua Surat asy-Syamsi dan adh-Dhuha sekalipun sama-sama berlandasan pada keterangan hadits Rusulullah ﷺ karena Surat yang pertama (al-Kafirun) sebanding dengan seperempat al-Qur’an dan Surat yang kedua (al-Ikhas) sebanding dengan sepertiga al-Qur’an. Dengan beberapa alasan ini, maka mengkrompromikan dua pendapat tadi lebih utama, dengan cara membaca Surat asy-Syamsu dan Surat al-Kafirun dalam raka’at yang pertama dan membaca Surat adh-Dhuha dan al-Ikhlas dalam raka’at yang kedua kemudian setelah itu untuk raka’at-raka’at berikutnya cukup membaca Surat al-Kafirun dan al-Ikhlas.”
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
?Syaikh Ibrahim al-Bajuriy| Hasyiyah al-Bajuriy| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 259-260
?Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha| Hasyiyah I’anatu ath-Thalibin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 434-435