Bagi Santri Dulu, perintah guru adalah segalanya, tak ayal meski perintah tersebut sangat sulit dilakukan bahkan nyaris mustahil. Mereka dengan sigap menyangupi dan melakukannya meski harus nyawa menjdi taruhannya. Hal itu dilakukan hanya demi mendapat ridha atau sekedar mendapat pengakuan sebagai Santri dari Sang Guru.
Konon, Para Masyasikh zaman dahulu memang suka menguji santri-santrinya sebelum mereka resmi menjadi Santri, semacam uji kelayakan kalau dibahasakan zaman sekarang. Salah satunya adalah kisah Syaikh Umar Ba Makhramah dengan Gurunya, Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar.
Ketika Umar Ba Makhramah ingin berguru, Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar berkata: “Kamu aku terima sebagai santriku, tapi dengan tiga syarat.”
“Apakah ketiga syarat itu wahai Syaikh?” tanya Ba Makhramah.
“Pertama, naiklah kau ke Gunung Qamram, lalu lompatlah dari puncaknya.”
“Baiklah.” ucap Ba Makhramah.
Keesokan harinya, Ba Makhramah mendaki gunung tersebut. Berangkat pagi dan baru sampai ke puncaknya sore hari.
Ia kemudian terjun dari puncaknya, Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar menangkapnya dan ia sampai ke bawah dengan selamat.
“Kau terjun dengan mata terbuka atau terpejam?” tanya Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar.
“Terpejam.” jawab Ba Makhramah
“Ulangi, terjunlah sekali lagi dengan mata terbuka.”
“Baiklah.” ucap Ba Makhramah tanpa sedikit pun membantah.
Ba Makhramah lalu terjun untuk kedua kalinya dengan mata terbuka dan mendarat dengan selamat dan menyaksikan bahwa Syaikh Abdurrahman al-Akhdar lah yang telah menyelamatkannya.
“Sekarang syarat kedua, jika masyarakat telah menghadap kiblat dan siap untuk shalat, menghadaplah ke timur lalu shalatlah (membelakangi kiblat).” Perintah Syaikh Abdurrahman al-Akhdar .
Syaikh Umar Ba Makhramah mengeluh dalam hati, “Ujian ini lebih berat. Ujian ini menyangkut urusan agama, terlebih lagi masalah shalat.”
Namun apa yang terjadi ketika Ba Makhramah melaksanakan syarat gurunya? Ba Makhramah berkata, “Ketika aku menghadap ke timur, kusaksikan Ka’bah di hadapanku. Aku lalu shalat menghadap Ka’bah itu.”
“Apakah syarat ketiga?” tanya Ba Makhramah kepada gurunya.
“Pergilah ke kota ‘Adn. Jika al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni keluar diiringi murid-muridnya, katakanlah kepadanya, “Wahai Habib Abu Bakar! Sesungguhnya kau tidak akan sekali-kali dapat menembus bumi dan tidak akan sekali-kali sampai setinggi gunung – QS Al-Isra (17): 37.”
Ketika Ba Makhramah sampai di kota ‘And, beliau mendapati jalan-jalan kota ‘And telah digelari permadani merah untuk jalan Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni dan pengikutnya.
Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni kemudian keluar menunggangi kuda, orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk pengamanan dan penyambutnya.
Ba Makhramah berguman dalam hati, “Bagaimana aku dapat mengucapkan apa yang diperintahkan kepadaku di hadapan kumpulan ini. Mereka tentu akan mengeronyoku. Namun jika aku diam, berarti aku telah melanggar perintah guruku.”
Dengan tekat yang bulat Ba Makhramah menembus blokade orang-orang yang menyambut dan mengamankan Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni, kemudian tanpa rasa takut Ba Makhramah menghadang langkah Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni dan berkata “Wahai Al-Habib Abu Bakar! Sesungguhnya kau tidak akan sekali-kali dapat menembus bumi dan tidak akan sekali-sekali sampai setinggi gunung.”
Karena merasa tertantang Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni, langsung menyelam ke dasar bumi, muncul kepermukaan lalu terbang tinggi menyonsong langit kemudian kembali ke bumi.
Sesampai di bumi Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni, menunjuk Ba Makhramah dengan telunjuknya sembari berkata, “Kau akan terbakar.”
Ba Makhramah ketakutan dan hanya pasarah dengan resiko apapun yang akan dialami. Konon al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni seorang wali Allah yang sakti mandraguna.
Namun waktu al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni mengarahkan telunjuknya kepada Ba Makhramah, Syaikh Abdurrahman Al-Akhdhar gurunya menangkis dari kota Hainan. Akibatnya, tangan Syaikh Al-Akhdhar Abdurrahman berlubang.
Demikianlah beratnya syarat yang diajukan oleh Syaikh Abdurrahman al-Akhdhar dan ketulusan cinta yang ditunjukkan oleh Syaikh Umar Ba Makhramah.
Oleh: Abdul Adzim
___________________
Kisah ini saya rekam dari Ustadzina Mauridi Masyhudi (sekarang menjadi salah satu staf pengajar di Madrasah al-Ma’arif, Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Demangan Bangkalan) saat masih berada dibangku belajar di Pondok Pesantren Sidogiri. Mohon bantuan info, jika segenap pembaca syaichona.net menemukan referensi aslinya.