“Pada suatu hari al-Faqih Ismail al-Hadhramiy hendak berpergian dari Hadramaut menuju Kota Zabid [¹]. Kala itu Matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat dan perjalanan masih sangat jauh untuk ditempuh”. Al-Manawi (w. 1031 H) dalam kitabnya al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajimi as-Sadati ash-Shufiyah memulai kisahnya. “Al-Hadhramiy cemas jika beliau tidak bisa sampai ke kota Zabid sebelum terbenamnya Matahari, karena pintu-pintu kota akan di tutup pada saat itu. Maka seraya memandang Matahari al-Hadhramiy memerintahkan pada Matahari untuk berhenti sejenak sampai beliau memasuki kota Zabid. Ajaib, dengan idzin Allah ﷻ Matahari pun berhenti.
Dalam riwayat lain, sebagaimana yang kutip dari Syaikh Tajuddin as-Subkiy (w. 771 H) dalam kitabnya ath-Thabaqatu asy-Syafi’iyah al-Kubro mengisahkan: Pada saat itu disebuah perjalanan pulang, al-Faqih Ismail al-Hadhramiy menyuruh pelayannya untuk memerintahkan agar matahari berhenti sejenak hingga beliau sampai di kediamannya: “Wahai Matahari! al-Faqih Ismail al-Hadhramiy memerintahkan padamu agar berhenti sejenak jangan terbenam dulu hingga beliau sampai ketujuannya”. Maka seketika Matahari itu berhenti hingga al-Hadhramiy sampai di kediamannya. Setelah sampai, al-Hadhramiy menyuruh pelayannya agar melepaskan Matahari yang tertahan.
“Wahai Matahari terbenamlah”. Kata Sang Pelayan melaksanakan perintah majikannya.
Maka dengan idzin Allah ﷻ, Matahari seketikaterbenam dan alam gelap gulita dengan malamnya.
Dua versi kisah barusan adalah salah satu kisah dari karomah al-Faqih Ismail al-Hadhramiy. Beliau adalah Qathbuddin, al-Faqih, al-Allamah, ash-Shaleh az-Zuhud. Seorang bermadzhab As Syafi’i. Abu al-Fida Ismail bin Muhammad bin Ismail bin Ali bin Abdillah bin Ismail bin Abi Maimun al-Hadramiy al-Yamaniy. Beliau memiliki beberapa karya baik dalam bidang fiqih seperti Syarah al-Muhadzdzab juga dalam bidang hadits semisal Mukhtashar Shahih Muslim, al-Murtadha yang merupakan kitab ringkasan dari kitab Sya’bu al-Imam karya Imam Baihaqiy. Konon nama Murtadha diperoleh melalui Kasysyaf (terbukanya mata batin), Mukhtashar Bahjatu al-Majalis, Fatwa-fatwa yang berfaidah dan kalam-kalam mutiara tentang Tasawwuf yang menunjukkan kesempurnaan maqom ma’rifat beliau. Beliau adalah Datuk ketiga dari Pernah menjabat menjadi Qadhai al-Qadhah (hakim agung) di kerajaan raja Mudhaffar selama 2 tahun kemudian mengasingkan diri dari keramaian dunia. Beliau adalah Datuk ketiga dalam rantai silsilah Syekh Ismail Zain al-Yamaniy. Beliau diperkirakan wafat pada tahun 676/677 H di desa Adh-Dhuha.
Dalam kitab al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajimi as-Sadati ash-Shufiyah, Al-Manawi mengisahkan: “Suatu hari ada seorang datang meminta fatwa pada al-Faqih Ismail al-Hadhramiy tentang kitab-kitab Imam al-Ghazali yang dianggap kontroversi oleh sebagian kalangan.
“Bolehkah membaca kitab-kitab karya al Ghazali?”. Tanya orang itu.
Al-Faqih Ismail al-Hadhramiy pun menjawab: “Innalillahi wa inna ilahi raji’un, Muhammad bin Abdillah adalah Sayyid (tuan) para Nabi, Muhammad bin Idris (Imam as-Syafi’i) adalah Sayyid (tuan) para Imam, Muhammad bin Muhammad (al-Ghazali) adalah Sayyid Mushannifin (tuan para penulis kitab)”.
Selain kisah di atas dalam kitab yang sama, Al-Manawi menambahkan: di antara karomah al-Fakih Ismail bin al-Hadromiy yang masyhur adalah bahwa pada suatu waktu al-Faqih Ismail al-Hadhramiy berziarah ke sebuah tempat pemakaman di kota Zabid, Yaman bersama Syaikh al-Muhibbu ath-Thabariy.
“Apakah kau percaya dengan ucapan orang-orang mati?”. Al-Faqih Ismail al-Hadhramiy pada Syaikh al-Muhibbu ath-Thabariy.
Syaikh al-Muhibbu ath-Thabariy menjawab: “Saya percaya hal itu”.
Kemudian al-Fakih Ismail al-Hadhramiy berkata pada Syaikh al-Muhibbu ath-Thabariy: “Tadi salah satu Ahli Kubur ada yang menyapaku dan berkata: “Saya tergolong orang-orang yang ahli surga. Wahai al-Fakih!”.
Sementara Syaikh Tajuddin dalam kitab yang telah disebut dimuka menambahkan: Di waktu yang lain al-Fakih Ismail al-Hadhramiy pernah berziarah ke sebuah tempat pemakaman di kota Zabid, Yaman. Dia. Di sana beliau menangis tersedu-sedu namun kemudian tertawa terbahak-bahak. Lantas salah seorang bertanya pada beliau: “Apa gerangan yang membuat tuan menangis kemudian tertawa”.
“Allah membukakan mata batinku, hingga aku bisa melihat kebanyakan penghuni kuburan di pemakaman ini mendapatkan siksa. Lalu aku memintakan syafaat pada Allah ﷻ untuk mereka dan Allah ﷻ berkenan memberi syafaat pada mereka dengan segala ampunan-Nya. Kemudian pemilik kuburan ini (al-Hadhramiy sembari menunjukan salah satu kuburan tua di tempat pemakaman Zabid) datang berkata padaku:
“Saya juga bersama mereka wahai al-Faqih!”.
Aku bertanya padanya: “Siapa dirimu?”
Iya menjawab: “Aku adalah seorang Biduan (penyanyi) wanita”.
Mendengar pengakuan orang itu aku tertawa dan berkata padanya: “Iya! Kau juga termasuk bersama mereka”.
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
? Syaikh Zainuddin Muhammad bin Abdurrauf al-Manawiy| Al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajimi as-Sadati ash-Shufiyah| Darul al-Kutub al-Ilmiyah juz 2 hal 147-149
? Syaikh Abu Nashr Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki Tajuddin as-Subkiy| Thabaqatu asy-Syafi’iyah al-Kubro| Darul al-Kutub al-Ilmiyah juz 4 hal 131
? Syaikh Syihafuddin Abi al-Falah Abdul Hayyi bin Ahmad bin Muhammad bin al-‘Imad al-Hanbaliy | Sadzatu adz-Dzahab fi Akhbari min Dzahab| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 6 hal 16-17
_________________________
[¹] Zabid adalah sebuah kota tua di Yaman yang pernah menjadi ibu kota Yaman pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-15. Zabid terletak di Bujur Timur 43 dan Lintang Utara 14, di tengah dataran Tihamah yang ada di bagian barat dari Yaman, yang terbujur dari Aden di selatan hingga ke perbatasan Arab Saudi di utara, berjarak dari Sanaa sekitar 233 km ke arah barat daya, dari Taiz sekitar 161 km ke arah barat laut, dari Al-Hudaydah 95 km ke arah tenggaa.