Air merupakan salah satu elemen kehidupan. Karena tanpa air, tidak akan ada kehidupan. Karena itu, hujan yang turun dari langit seyogianya disambut sebagai rahmat dan keberkahan dari Allah ﷻ
Allah ﷻ berfirman dalam al-Quran bahwa hujan yang turun ke bumi sebagai rahmat yang diperlukan seluruh makhluk:
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS Asy-Syuura: 28).
Syaikh Syamsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbiniy (w. 977 H) dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Fadzi al-Minhaj dan Syekh Wahbah Az-Zuhaili (w. Sabtu 8 Agustus 2015 M/23 Syawal 1436) dalam kitabnya al-Fikhu al-Islamiy wa Adillatuhu mengatakan:
يستحب لكل أحد أن يبرز ( يظهر) لأول مطر السنة، وأول كل مطر ويكشف من جسده غير عورته ليصيبه شيء من المطر تبرك.
“Disunahkan bagi setiap orang menampakkan diri (keluar dari rumah) untuk menyambut hujan pertama di permukaan tahun dan disetiap pertama kali hujan turun dengan cara membuka pakian kecuali yang menjadi aurat agar terkena air hujan sebagai Tabarruk (mengambil berkah) dengan hujan tersebut. Sebagaimana keterangan hadits berikut:
وروي مسلم في صحيحه، وأبو داود عن أنس قال: كان النبي صلي الله عليه وسلم إذا رأي المطر كشف ثوبه، وقال أبو داود: يحسر ثوبه عنه ثم اتفقا حتي أصابه، فقلنا: يا رسول الله، لم صنعت هذا؟ قال: لأنه حديث عهد بربه
“Diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, dan Imam Abu Dawud, dari Anas, ia berkata: “Nabi ﷺ ketika melihat hujan, beliau membuka bajunya.” Imam Abu Dawud berkata: “Nabi ﷺ menyingkap pakaiannya hingga terkena guyuran hujan.” Kami berkata: “Ya Rasulullah, kenapa tuan berbuat seperti ini?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Karena hujan merupakan rahmat yang diberikan Allah ﷻ.” (HR. Muslim no. 898).
Arti tersirat dari kalimat: “Liannahu Haditsu ‘ahdi bi rabbihi,” pada hadits di ini menurut Syaikh asy-Syarbiniy dan Az-Zuhailiy adalah:
أي بخلقه وتنزيله وتكونيه
“Sebab Allah ﷻ yang menciptakan, menurunkan dan wujudkan”.
Selain itu, menurut beliau berdua: Dianjurkan (sunah) mandi atau berwudhu ketika turun hujan sebagaimana keterangan yang sampaikan Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm dengan sanad Munqati (terputus) bahwa Nabi ﷺ ketika hujan turun, Beliau mandi dan bersabda:
اخْرُجُوا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِى جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا فَنَتَطَهَّرُ مِنْهُ وَنَحْمَدُ اللَّهَ عَلَيْهِ
“Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah ﷻ sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Asy-Syafi’i dalam Tafsirnya 1/253).
Kemudian Syaikh Muhyiddin Abi Yahya Zakariya bin Syarraf an-Nawawiy (w. 676 H) dalam kitab Shahih Muslim bi Syarah ))an-Nawawiy menjelaskan:
معناه أن المطر رحمة وهي قريبة العهد بخلق الله تعالى لها فيتبرك بها وفي هذا الحديث دليل لقول أصحابنا أنه يستحب عند أول المطر أن يكشف غير عورته ليناله المطر
“Makna dari kalimat “Liannahu Haditsu ‘ahdi bi rabbihi” adalah: “:Sesungguhnya hujan adalah rahmat, yaitu rahmat yang baru saja Allah ﷻ ciptakan, kemudian Rasulullah ﷺ bertabarruk (mengambil barokah) dengan hujan tersebut. Hadits ini merupakan dalil untuk pendapat ashab syafi’iyyah (mazhab syafi’i) bahwa sesungguhnya disunahkan di saat awal (turunnya) hujan untuk membuka (pakaian) selain aurat hingga terkena air hujan.”
Sementara Syaikh Ali bin Sulthon Muhammad al-Qariy (w. 1014 H) Muroqati al-Mafatih ketika menjelaskan isi kitab Misykatu al-Mashobih karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Khatib at-Tabriziy (w. 741 H) memberikan tambahan, bahwa makna yang dimaksud kalimat “Liannahu Haditsu ‘ahdi bi rabbihi” dalam hadits di atas adalah dikarenakan hujan yang baru saja turun itu atas perintah Allah ﷻ, maka seperti bayi yang baru lahir belum tersentuh tangan-tanggan yang berlumuran dosa, seperti tunas-tunas yang baru tumbuh atau seperti bunga-bunga yang baru bermekaran di musim semi yang bersih (belum terkontaminasi oleh suatu yang mengotori) atau karena hujan itu merupakan nikmat baru pemberian Allah ﷻ karena itu dikatakan “Setiap yang baru itu lezat (mengenakan)” atau bisa diartikan bahwa hujan itu ibarat seorang utusan atau orang kepercayaan raja yang diutus kepada semua orang yang wajib diagungkan dan dimuliakan atau karena di dalamnya mengandung indikasi (isyarat) dekatnya waktu dari Alam ‘Adam (dimensi ketiadaan) menuju Alam Baka (dimensi keabdian) yang selalu diharapkan al-Khaifin (orang-orang yang takut pada Allah ﷻ) dan ambang batas dari as-Salikin (para penempuh jalan Ma’rifat pada Allah ﷻ) yang telah sampai pada maqam fana karena terdapat sebuah kesamaan jenis antar hujan dan dekatnya waktu dari Alam ‘Adam (dimensi ketiadaan) menuju Alam Baka (dimensi keabdian).
Syaikh Abu Abdullah Syihafuddin bin Husain at-Turibisytiy al-Hanafiy (w. 661 H) mengatakan: “Kalimat tersebut merupakan simbul dekatnya waktu hujan dengan Fitrah (asal kejadian yang suci) yaitu air yang mengandung keberkahan yang diturunkan Allah ﷻ dari mendung kesucian saat itu yang belum tersentuh tangan-tangan kesalahan dan tidak ada yang bisa mengeruhkannya sebab bertemu bumi hamba-hamba Allah ﷻ kecuali Allah ﷻ sendiri. Sebagaimana puisi yang tembangkan guruku, guru besar Islam (asy-Syarif ar-Ridha):
تَضُوْع أٗرْواحُ نَجدٍ مِن ثِيابِهِمُ … عِندَ القُدومِ لِقُربِ العَهدِ بِالدارِ
Telah menyebar aroma angin tanah Najj dari pakain-pakain mereka … Ketika mereka datang karena sangat dengan rumah.
Syaikh al-Mudhahhir mengatakan:
فيه تعليم لأمته أن يتقربوا ويرغبوا فيما فيه خير وبركة
Dalam hadits tersebut merupakan pembelajar dari Rasulullah ﷺ agar umatnya senantiasa mendekatkan diri dan senang pada sesuatu yang di dalam mengandung kebaikkan dan keberkahan.
Di akhir bab, Syaikh Ali bin Sulthon Muhammad al-Qariy penulis kitab ini menambahkan bahwa dianjurkan (sunah) ketika hujan turun memanjatkan doa sebagaimana keterang hadits yang diriwayatkan as-Syafi’i yang telah disebutkan dimuka dan ketika hujan telah reda dianjurkan berdoa dengan doa berikut:
ﻣُﻄِﺮْﻧَﺎ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺘِﻪِ
“Kami telah dihujani dengan (hujan) anugerah dan rahmat Allah ﷻ.
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
? Syaikh Syamsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbiniy| Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Fadzi al-Minhaj| Daru al-Ma’rifah juz 1 hal 484-485
? Syekh Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili| al-Fikhu al-Islamiy wa Adillatuhu| Daru al-Fikr juz 2 hal 427-429
? Syaikh Muhyiddin Abi Yahya Zakariya bin Syarraf an-Nawawiy| Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawiy| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 5 hal 173
? Syaikh Abu Abdullah Syihafuddin bin Husain at-Turibisytiy al-Hanafiy| Muroqati al-Mafatih Syarhu Misykatu al-Mashabih| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 3 hal 552