Ummu Sulaim, nama aslinya Rumaisha binti Milhan telah memeluk Islam, ketika Abu Thalhah, salah seorang yang terpandang dari penduduk Madinah yang masih musyrik melamarnya. Ia adalah seorang janda dari pernikahannya di masa jahiliah dengan Malik bin Nadhar. Sedangkan anaknya, Anas bin Malik ra adalah salah satu sahabat Nabi Saw yang banyak sekali meriwayatkan hadits beliau.
Atas lamaran Abu Thalhah itu, ia berkata, “Wahai Abu Thalhah, Demi Allah SWT tidak ada wanita yang akan menolak lamaran orang yang sepertimu. Tetapi aku seorang wanita muslimah dan engkau seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, dan itulah mahar yang kuminta, dan tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!”
Karena memang terlanjur suka, Abu Thalhah menyetujui permintaan Ummu Sulaim untuk memeluk Islam. Mahar telah diberikan oleh Abu Thalhah, yakni keislamannya tersebut, maka Ummu Sulaim berkata kepada anaknya, “Hai Anas, nikahkanlah ibumu ini dengan Abu Thalhah.”
Seorang sahabat bernama Tsabit berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang perempuan yang mahar pernikahannya lebih utama daripada maharnya Ummu Sulaim.”
Dari pernikahannya dengan Abu Thalhah, Ummu Sulaim mempunyai anak yang bernama Abu Umair. Nabi SAW sering bercanda dengan Abu Umair ketika berkunjung ke rumah Abu Thalhah.
Suatu hari Abu Umair menderita sakit yang cukup parah. Pada saat yang sama, Abu Thalhah harus pergi bersama Rasulullah Saw untuk menangani suatu urusan dalam waktu agak lama, dan ketika itu anaknya meninggal dunia. Karena suaminya tidak ada di rumah, Ummu Sulaim mengurus sendiri jenazah anaknya. Ia memandikan dan mengkafaninya serta membaringkannya di tempat tidur.
Air mata Ummu Sulaim tak bisa dibendung, tetapi ia tetap tegar meskipun hatinya remuk melihat kepergian anaknya. Ummu Sulaim enggan membuat suaminya khawatir dan berduka. Ia berpesan kepada keluarganya untuk tidak mengabarkan kematian anaknya hingga ia sendiri yang akan memberitahukannya.
Dengan penuh ketegaran Ummu Sulaim ikut mengurus jenazah Abu Umair yang kini hanya terbujur kaku. Ia bahkan memandikan dan mengkafani tubuh mungil anak itu.
Kemudian pulanglah Abu Thalhah saat hari mulai gelap. Setibanya di rumah, ia langsung menanyakan keadaan anaknya. Dengan tenang Ummu Sulaim menjawab “Dia sudah tenang”. Tanpa curiga sedikit pun, Abu Thalhah mengira bahwa putra kesayangannya telah sembuh dan sedang beristirahat.
Ummu Sulaim pun menyiapkan makanan dan minuman untuk suminya yang sedang berpuasa. Dengan segera, sang suami pun langsung menyantap hidangan yang telah disediakan untuknya.
Di malam itu, Ummu Sulaim bersolek untuk suaminya, tak pernah ia berdandan lebih cantik dari malam itu, lalu Ummu Sulaim melayani suaminya sebaik mungkin, seolah-olah itu adalah malam pertama bagi keduanya.
Keesokan harinya, Abu Thalhah hendak pergi untuk suatu urusan. Namun sebelum suaminya pergi Ummu Sulaim bertanya “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu mengenai suatu kaum yang dipinjamkan harta, namun ketika sang pemilik hendak mengambil hartanya kembali, kaum itu justru enggan mengembalikannya?”
Abu Thalhah pun menjawab “Tidak sepatutnya mereka berbuat demikian, sesungguhnya pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya”.
Begitulah yang terjadi pada kita wahai suamiku, sesungguhnya Allah SWT telah menitipkan seorang anak laki-laki kepada kita, namun kemudian Ia mengambilnya kembali dari pelukan kita”.
Kabar itu seumpama petir yang menyambar di kepala Abu Thalhah, ia pun beristirja, rasa sedih dan marah bercampur aduk dalam hatinya, ia pun berkata “Engkau biarkan aku tak mengetahui hal itu hingga aku berlumuran janabah, lalu kini kau mengabarkan tentang kematian anakku?”
Lalu keluarlah Abu Thalhah dan shalat bersama Nabi Saw. Usai shalat, Abu Thalhah segera mendekati Nabi Saw dan menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya.
Rasulullah Saw kemudian berdoa:
بارك الله لكما في ليلتكما
“Semoga Allah SWT memberkahi kalian berdua dalam malam kalian berdua itu”.
Doa Rasulullah Saw pun diijabah Allah SWT. Ummu Sulaim kemudian dikaruniai seorang anak, ia menamakannya Abdullah bin Thalhah. Darinya, lahirlah keturunan-keturunan shalih lagi hafal al-Qur’an.
Abu Ubabah bin Rifa’ah berkata “Sungguh, setelah itu aku menyaksikan tujuh orang anak mereka di masjid, semuanya sudah mengkhatamkan (hafal) al-Qur’an”.
Kisah ini bisa kita simpulkan dan kita petik pelajaran bahwa kita tetap harus bersabar dalam kondisi apapun saat di timpa musibah. Belajar pada Ummu Sulaim yang penuh kesabaran, meski ia kehilangan anaknya. Ia menyembunyikan segala kesedihannya dari semua orang bahkan dari suaminya sendiri. Ia masih berusaha memasak, bersolek dan senyum agar sang suami terkejut dan marah.
Semoga kita bisa meneladani beliau dan semoga kisah ini bisa memberi motivasi bagi semua kita saat ditimpa musibah.
Waallahu A’lamu
Penulis: Rido An-Nafis
Referensi:
Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari Hadits no. 1301 karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy (w. 852 H) Maktabah Sultan Abdul Aziz juz 7, hal 18. Maktabah Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 3 hal 147-150.