Syaichona.net- Batasan akhir dari semua ruh kehidupan adalah kematian. namun bagi orang yang mempunyai hutang ketika hidupnya, maka tanggungan hutang piutang tidak bisa berhenti sebab kematian. hutang tetaplah hutang. Orang yang mati dan meninggalkan hutang piutang menurut syari’at Islam hutangnya tidak serta merta lunas begitu saja dan masih menjadi tanggungan si mayit sebelum dilunasi.
Hal ini sebagaimana yang telah ditegaskan Baginda Nabi Saw:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ أَيْ رُوحُهُ مُعَلَّقَةٌ أَيْ مَحْبُوْسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيْمِ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Diri seorang mukmin (ruhnya) tertahan untuk menempati tempatnya yang mulia sampai hutangnya dibayar.”
Pada dasarnya, jika si mayit meninggalkan Tirkah (harta peninggalan), maka setelah dipakai untuk memenuhi biaya Tajhizah (Pengurusan jenazah si mayit sejak meninggalnya sampai dikuburkan), uang yang tersisa harus terlebih dahulu digunakan melunasi hutang, melaksanaan wasiat si mayit sebelum kemudian dibagi pada ahli warisnya. Namun, jika si mayit tidak meninggalkan Tirkah sama sekali atau sudah habis dipakai pembiayaan Tajhizah. Bolehkah hutang si mayit ditanggung keluarga atau orang lain hingga si mayit bebas dari tanggungan hutang?
Ulama berpendapat bahwa diperbolehkan hutang si mayit ditanggung oleh pihak keluarga dengan cara akad Hiwalah (Pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang) baik keluarga atau pihak lain.
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’nya menerangkan:
إنْ كَانَ الدَّيْنُ يُسْتَأْخَرُ سَأَلَ غُرَمَاءَهُ أَنْ يُحَلِّلُوْهُ
“Jika hutang si mayit diakhirkan (belum dilunasi), maka boleh (pihak keluarga) meminta pada orang yang memberi hutang untuk mengalihkan hutang si mayit padanya”
Setelah hutang si mayit berpindah kepada pihak keluarga, secara otomatis si mayit sudah terbebas dari tanggungan hutangnya.
Dalam hal ini Syekh Sulaiman al-Jamal menambahkan :
فَيَنْتَقِلُ الْحَقُّ إلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزِمِ وَلَوْ أَجْنَبِيًّا وَتَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ
“Maka hak hutang berpindah kepada tanggungan orang yang menjamin sekalipun bukan keluarga si mayit, dan si mayit sudah terbebas dari tanggungan hutangnya.”
Namun, sebagian ulama, masih mengsangsikan pendapat ini, mereka tidak sepakat kalau tanggungan si mayit bisa hilang dengan cara hiwalah (dialihkan kepada orang lain). Karena dalam akad hiwalah disyaratkan adanya rekomendasi dari pihak yang memiliki hutang, dalam hal ini adalah si mayit. Tentu pihak keluarga belum sempat rekomendasi dari si mayit untuk menanggung hutangnya yang belum dibayar.
Kesangsian ini kemudian dijawab oleh Imam Syafi’i dan para santrinya, bahwa akad Hiwalah seperti ini diperbolehkan dan si mayit terbebas dari hutangnya karena ada hajat dan mashlahah. Bahkan mereka mewajibkan pihak yang memberi utang untuk menerima pengalihan hutangnya si mayit dengan cara Hiwalah. Waallahu A’lamu.
Penulis : Pusiri
Referensi:
?Syekh Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Vol 2, Hal. 141, Maktabah Darul Fikr
?Syekh Jamal, Hasyiyah al-Jamal, Vol. 5, Hal 105, Maktabah Muthbi’ah al-Muniroh.