Setelah selesai prosesi akad nikah yang sangat sederhana itu, berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam dada Abdullah bin Abi Wada’ah. Ia pun berpamitan pulang ke rumahnya dengan senyum kebahagian.
“Siang itu sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku nyaris lupa dengan puasaku…” cerita Wada’ah.”
Sungguh bahagia Abdullah bin Abi Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah, saat Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin terlihat apa adanya, saat rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak terkira, saat orang percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya engkau telah mendapat anugrah terindah.
Sulur-sulur cahaya pikiran itu terus menerus menerangi benak Abdullah bin Abi Wada’ah membuka cakrawala kesadarannya yang hakiki. Hingga tiba waktunya adzan maghrib berkumandang dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia meneruskan buka puasa dengan sepotong roti dan minyak Zaitun.
Belum tuntas menikmati sajian rotinya, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia berdiri untuk membuka pintu.
“Siapa di luar…?” Tanya Abdullah bin Abi Wada’ah.
“Saya Said,“ Jawab orang itu.
Suara itu seperti tidak asing lagi di telinga Abdullah bin Abi Wada’ah. Seseorang yang istimewa dan telah lama dikenalnya, yang tidak lain adalah Said bin Musayyab gurunya. Ada apa gerangan? Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi perasaan grogi dan cemas. Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan Said bin Musayyab hendak membatalkan urusan pernikahan ini, atau mungkin saja mempelai putri menolak menjadi istrinya. Tetapi, ketika pintu rumahnya dibuka, ternyata Said bin Musayyab datang bersama putrinya yang berpakaian gaun pengantin, diiringi gadis-gadis nan cantik jelita yang membawa nampan-nampan yang disisi hadiyah.
“Apa yang membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai guruku?” Tanya Abdullah bin Abi Wada’ah pada gurunya.
“Sesungguhnya Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa memiliki istri karena syetan akan mengganggunya wahai Abdullah bin Abi Wada’ah. Ini aku bawakan istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan semoga ia juga mendapatkan barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam naungan kebaikan.”
Kemudian Said Bin Musayyib meninggalkan putrinya di rumah Abdullah bin Abi Wada’ah. Saat itu juga Abu Wada’ah berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya. Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan bertanya:
“Ada apakah gerangan wahai Abdullah bin Abi Wada’ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para tetangganya.
“Said Bin Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang kepadaku malam ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang, putrinya telah bersamaku.” Abdullah bin Abi Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya kepada mereka.
Para tetangga kemudian mendatanginya dan membantu hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita mempersiapkan pengantin putri dan kaum lelaki mempersiapkan Abdullah bin Abi Wada’ah agar bertemu dengan istrinya dalam keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu tidak ada permainan dan perbuatan yang sia-sia.
Kemudian para undangan pulang ke rumahnya masing-masing dengan mendapatkan balasan dari Allah dan juga ucapan rasa terima kasih dari Abdullah bin Abi Wada’ah. Mempelai laki-laki pun kemudian masuk ke rumah menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang sangat cantik, paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah Rasulullah dan paling paham akan hak-hak suami.
Ketika Sa’id bin al-Musayyib ditanya tentang alasannya menikahkan putrinya dengan Abdullah, dia menjawab, “Aku tidak pernah memandang masalah kaya atau miskin dalam menikahkan putriku dengan seseorang, tetapi aku melihat seorang laki-laki yang aku kenal sebagai pahlawan dari para pahlawan kehidupan, yang mempunyai senjata agama dan kemuliaan akhlak. Aku yakin, bahwa ketika aku mengawinkan putriku dengannya, dia akan memahami kemuliaan dirinya dan kemuliaan suaminya. Oleh karena itu, bertemulah dua tabiat yang harmonis, sedangkan kebahagiaan tidak akan timbul dari laki-laki dan wanita apabila tabiat mereka tidak cocok. Saya tahu dan semua orang juga tahu, bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang akan dapat membeli kecocokan atau keharmonisan ini, karena hal itu merupakan hadiah satu hati kepada hati yang lain, sehingga keduanya saling terbiasa dan saling mencinta.”
Beberapa waktu kemudian, Abdullah bin Abu Wada’ah berkata: “Satu minggu, aku lewati masa pengantin baruku seakan-akan aku berada di taman surga. Setelah itu, aku meminta idzin kepadanya untuk keluar.”
Istriku bertanya, “Engkau mau ke mana, suamiku?”
“Aku hendak menghadiri majlis pengajian Sa’id bin al-Musayyab” Jawabku.
Istriku berkata dengan manja, “Duduklah di sini, duhai suamiku. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu-ilmu Sa’id bin al-Musayyab!.”
Suatu hari, Said Bin Musayyab menengok keadaan putrinya dan Abdullah bin Abu Wada’ah.
“Mengapa sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?” Tanya Said Bin Musayyab.
“Karena aku telah menemukan ilmu Said bin Musayyab pada putrinya,” Jawab Abdullah bin Abu Wada’ah.
Semoga Allah melimpahkan rahmatnya pada Said bin Musayyab dan Abdullah bin Abu Wada’ah.
Semoga manfaat
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
? Abi Abdillah bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Abdariy al-Malikiy al-Fasiy| Al-Madkhal| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 156
? Manna’ al-Qatthan| Tarikh Tasyri’ al-Islamy| Maktabah Wahbah hal 258-259
? Hani al-Hajj| Alfa Qishshah wa Qishshah min Qishashi ash-Shalihin wa ash-Shalihat wa Nawadir az-Zahidin wa az-Zahidat| Al-Maktabah at-Tawfiqiyah hal 426-430
? Dr Sayyyid bin Husain al-Afaniy| Shalahu al-Ummah fi Uluwi al-Himmah| Muassasatu al-Risalah juz 7 hal 177
? Dr Abdurrahman Ra`fat al-Basya| Shuwarun Min Hayaati at-Taabi’iin| Daru al-Adab al-Islamiy hal 201-219.