Pernahkah mendengar orang mati hidup kembali? Ketika kecil dulu ada tetangga yang sudah dinyatakan meninggal dunia bahkan sudah dikebumikan, selang tiga hari dikabarkan hidup kembali dan beraktifitas normal lanyaknya sebelum dia dinyatakan meninggal dunia.
Dalam istilah kliniknya disebut mati suri. Mati suri adalah merupakan sebuah fenomena ketika seseorang kembali hidup setelah dinyatakan meninggal dunia, dalam rentang waktu tertentu. Kejadian mati suri sering dikaitkan dengan pengalaman spiritual yang unik dan berbeda-beda pada tiap orang yang mengalaminya.
Berangkat dari cuplikan kisah dan difinisi medis di atas, penulis tertarik untuk mencari tahu pendapat para ulama fikih mengenai hal ini. Semisal status pernikahan, harta atau kepemilikannya pasca kehidupannya yang kedua. Karena bisa saja orang yang meninggal dunia tersebut sudah punya keluarga (menikah dan punya anak) karena bisa saja orang yang meninggal dunia tersebut kembali hidup setelah beberapa bulan kemudian atau setelah beberapa tahun setelah meninggal dunia.
Setelah dicari dalam dibeberapa literatur mereka, ternyata kasus serupa berikut permasalahan serta jawaban hukumnya sudah pernah dibahas dan diformulasisakan sejak dahulu dalam bentuk jurnal atau dalam kumpulan fatwa mereka yang sudah dicetak dan bukukan.
Salah satu tulisan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy nama lengkapnya Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-Salmunti al-Haitami al-Azhari al-Wa`ili as-Sa’di al-Makki al-Anshari asy-Syafi’i (lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909 H, wafat di Mekkah Rajab 973 H) dalam karyanya al-Fatawa al-Haditsiyah beliau menfatwakan:
إذا مات ثم أحيي فإن تيقن موته يتحول خبر معصوم لم يكن لحياته أثر لأنها وقعت خارقة للعادة
“Bila ada seseorang yang sudah dinyatakan meninggal dunia oleh tenaga medis atau orang yang bisa percaya kemudian hidup lagi, maka semua keputusan hukum syara’ sebelum ia hidup kembali tidak berpengaruh sama sekali pada dirinya karena kasus ini tergolong fenomina yang langka di luar kebiasaan manusia lumrahnya”
Syaikh Ibnu Hajar melanjutkan:
وما وقع كذلك لايدر عليه حكم على أن من هو كذلك لايعيش غالبا كما وقع لمن أحي على يد عيسى، على نبينا وعليه أفضل الصلاة والسلام وإذا تقرر أنه لا أثر لحياته فتُنكح زوجاته وتَقْسم ورثتُهُ ماله، وإن ثبت فيه الحياة، لأن الموت سبب وضَعَه الشارعُ لحلِّ الأموال، والزوجات، فحيث وجد ذلك السبب وُجِد المسبب، وأما الحياة بعده فلم يجعلها الشارع سبباً لعود ذلك الحِّل
“Kejadian seperti ini sulit dicari padanan hukumnya karena orang yang sudah meninggal dunia biasanya tidak akan hidup kembali sebagaimana kasus orang yang hidup kembali karena mu’jizat Nabi Isa as dan ketika syara’ sudah memutuskan demikian, maka secara otomatis andai ia memiliki istri dan harta sebelum ia meninggal dunia dan istrinya menikah lagi (dengan orang lain atau dengan dirinya) dan hartanya sudah diwariskan pada orang yang berhak mendapatkan, maka kehidupannya yang kedua tidak bisa merubah keputusan hukum sebelumnya. Karena sebab kematian, syara’ telah menghalalkan dan melepaskan segala kepemilikannya. Dalam rumus ilmu Usul Fikih disebutkan: “Ketika muncul sebab maka ditemukan sesuatu yang disebabkan (musabbab). Kehidupan kedua tidak dijadikan sebagai sebab kembalinya hukum halal baginya oleh syariat.”
Dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj karya Syamsuddin ar-Rumliy juga ditemukan redaksi yang nyaris sama:
وقع السؤال في الدرس عما لو ماتت الزوجة موتا حقيقيا والزوج حي ثم حييت هل تتزوج بغيره حالا لأنها بالموت سقطت عنها سائر الأحكام وهذه حياة جديدة أم لا إلى عن قال— والأقرب الأول للعلة المذكورة ، ولا فرق في ذلك بين عودها لزوجها الأول وبين تزوجها بغيره.
Terdapat pertanyaan: Andaikan seorang wanita benar-benar meninggal dunia dan suami masih hidup, kemudian istri kembali hidup, apakah dia diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain karena sebab kematian menghilangkan semua hukum sebelumnya, dan kehidupan ini adalah kehidupan baru, ataukah tidak boleh? Dalam permasalahan ini yang lebih mendekati adalah pendapat yang pertama (diperbolehkan) karena alasan tersebut, baik perempuan tersebut kembali menikah dengan suami pertama atau dengan laki-laki lain.”
Wallahu A’lam
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
? Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy| Al-Fatawa al-Haditsiyah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 13-14
? Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwaniy| Hasyiyah Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 4 hal 18
? Al-Imam Syamsuddin ar-Rumliy| Nihayatu al-Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj| al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyah juz 7 hal 145