Di masyarakat bahkan di sebagian kalangan santri, lumrah terdengar opini bahwa kencing bayi laki-laki di bawah usia 2 tahun dan belum pernah makan makanan selain air susu ibu sebagai makanan penguat tubuh, cara mensucikannya cukup dengan memercikkan air pada bagian yang terkena kencing tanpa harus membasuhnya. Sementara untuk kencing bayi perempuan harus dibasuh sebagaimanan kencing orang dewasa berdasar teks hadits Nabi ﷺ yang berbunyi:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ. صحيح البخاري (1/ 373)
Dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa dia datang menemui Rasulullah ﷺ dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.” (H.R. Bukhari)
Dan hadits yang diriwatkan At-Tirmidzi berikut ini:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ. قَالَ قَتَادَةُ وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا. سنن الترمذى (2/ 495)
Dari Ali bin Abu Thalib radliallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda mengenai air kencing bayi yang masih menyusu: ”Pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki cukup diperciki air sedangkan jika terkena air kencing bayi perempuan maka harus dicuci.” Qatadah berkata, hal ini jika keduanya belum memakan makanan, jika sudah memakan makanan maka keduanya harus dicuci. (HR. At-Tirmidzi).
Opini ini, begitu saja menggelinding seperti bola salju tanpa mau menengok bagaimana sesungguhnya penjelasan para ulama terkait cara mensucikan kencing bayi laki-laki tersebut yang benar?.
Nah, tadi siang ada salah satu teman menggugat kembali opini ini. Katanya: “Apakah memang sederhana itu cara mensucikannya?”
Saya pun terpanggil untuk mengetahuinya secara detail penjelasan ulama dalam literatur agung mereka dengan membuka beberapa kitab yang saya miliki, hasilnya saya menemukan dalam kitab Hasyiah al-Bajuriy ala Ibnu Qasim, Syaikh al-Bajuriy mengatakan:
(وقوله يطهر برش الماء عليه) أي بأن يرش عليه ما يعمه ويغمره بلاسيلان فلايكفي الرش الذي لايعمه ولايغره كما يقع من كثير من العوام ولابد مع من زوال أوصافه كبقية النجاسات وإنما سكتوا عن ذلك لأن الغالب زوالها خلافا للزكشي القائل بإن بقاء اللون والريح لايضر ولا بد من عصر محل البول أوجفافه حتى لايبقي فيه رطوبة تنفصل بخلاف الرطوبة التي لاتنفصل.
“Yang masksud perkataan penulis matan: (Kencing bayi laki-laki yang belum pernah makan makanan selain air susu ibu belum berusia 2 tahun cara mensucikannya cukup dengan memercikkan air) adalah dengan cara memercikan air secara rata dan menggenangi pada bagian (tempat) yang terkena kencing tanpa harus mengalir, maka tidak anggap mencukupi bila hanya memercikan air tanpa merata dan menggenangi sebagaimana anggapan kebanyakan orang-orang awam selama ini serta harus menghilangkan sifat-sifat (rasa, warna, bahu)nya terlebih dahulu sebagaimana peraktek menghilangkan najis (‘ainiyah) lainnya. Para ulama diam (tidak menjelaskan) tahapan yang harus dilakukan sebelum memercikan air karena galibnya sudah dihilangkan terlebih dahulu berbada menurut padangan al-Imam az-Zakasyi yang mengatakan bahwa bila warna dan bau masih tersisa tidak mempengaruhi kesucian dari najis. Dan juga jangan lupa sebelum memercikan air harus memeras atau mengeringkan terlebih dahulu bagian (tempat) yang terkena najis sehingga tidak tersisa sedikit pun ruthubah (suatu yang basah barasal dari tempat tersebut) yang bisa dipisah. Beda halnya dengan ruthubah yang tidak bisa dipisah”.
Lalu dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Naja Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy turut memberikan penjelasan:
(تطهر برش الماء عليها مع الغلبة وإزالة عينها) أي فكفي فيها الرش والغسل أفضل خروجا من الخلاف ومحل ذلك إن لم يختلط برطوبة في المحل مثلا وإلا وجب الغسل لأن تلك الرطوبة صارت نجسة وهي ليست بولا ولابد من إصابة الماء جمع موضع البول وأن يعم ويغلب الماء على البول ولايشترط في ذلك السيلان قطعا والسيلان والتقاطر هو الفارق بين الغسل والرش.
Masud dari kata-kata penulis matan: Kencing bayi laki-laki yang belum pernah makan makanan selain air susu ibu dan belum berusia 2 tahun cara mensucikannya cukup dengan memercikkan air secara rata dan setelah menghilang ‘ain (benda)nya najis) adalah memercikan air pada bagian (tempat) yang terkena kencing namun yang lebih utama membasuhnya karena keluar dari perbedaan ulama dan kontek dari pembahasan ini, jika kencing bayi tersebut tidak bercampur dengan ruthubah (suatu yang basah) di bagian (tempat) yang kena najis, misalkan. Namun jika bercapur dengan ruthubah, maka wajib dibasuh dengan air karena ruthubah (suatu yang basah) tadi menjadi najis juga meski bukan kencing. Setelah itu harus menuangkan dan meratakan air serta mendominasi pada segenap tempat yang terkena najis, tidak perlu mengalirkan air. Mengalir air dan meneteskan adalah bahasa pembeda antara membasuh dan memercikan air pada najis”.
Sementara dalam kitab Ghatu al-Munaa Syarah Safina al-Naja Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’atiyah ad-Du’ani mengutip penjelasan dari Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan:
وصرح العلامة ابن حجر الهيتمي بالإكتفاء بالرش وإن بقي الطعم
“Cara mensucikannya cukup hanya dengan memercikan air sekalai pun rasa dari najis kecing bayi tersebut masih tersisa. Waallahu ‘Alamu
?Referensi:
?Syaikh Ibrahim bin Ahmad al-Bajuriy| Hasyiah al-Bajuriy ala Ibnu Qasim| Nurul al-Hidayah Surabaya juz 1 hal 103
?Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy| Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Naja| Maktabah Muhammad bin Ahmad Tabbahan wa Awladihi hal 43
?Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’atiyah ad-Du’ani| Ghatu al-Munaa Syarah Safina al-Naja hal 227