Salah satu kegiatan rutin bagi seorang ibu yang baru melahirkan adalah memberi ASI pada bayinya, namun tidak jarang kita jumpai seorang ibu mengeluh karena bayinya suka memuntahkan ASI pasca disusuhi atau istilah medisnya disebut Gastroesophageal reflux. Mungkin bagi sebagian orang hal ini tidak bermasalah, cukup diseka dengan tissu atau kain sudah beres. Namun bagi seorang ibu yang selalu menjaga diri dan si bayinya dari suatu yang menajiskan tentu akan menjadi bumerang karena kadang si bayi memuntahkan ASI bisa setiap saat dan tidak bisa dihindari.
Berkaitan dengan masalah ini, timbul sebuah pertanyaan di masyarat: “Adakah dispensasi hukum dari pendapat ulama terkait najis muntahan ASI yang mengenai pada baju, badan dan lainnya?
Namun,sebelum membahas hukum muntahan ASI alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengetahui difisini al-Qay’ (muntahan) dan batasannya menurut ulama fiqih.
Dalam kitab Nahyatu az-Zain di Irsyadi al-Mubtadiin, Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawiy (w. 1316 H) mendifinisikan al-Qay’ (muntahan) sebagai berikut:
وقيء معدة: ولو بلا تغير والمراد بذلك الراجع بعد الوصول إلى ما جاوز مخرج الحرف الباطن وهو الحاء المهملة لأنه من الفضلات المستحيلة كالبول وجرة وهي – بكسر الجيم – ما يخرجه البعير أوعيره للاجترار كما قاله الخطيب الشربيني في الإقناع.
“(Di antara suatu yang menajiskan) adalah muntahan yang keluar dari lambung sekalipun tidak berubah. Sedang yang maksud muntahan adalah sesuatu (makanan atau minuman yang sudah tertelan) dan melewati batas tengah tenggorokan (tempat keluarnya huruf ha’) karena mutahan tersebut munurut Syaikh al-Khatib asy-Syarbiniy (w. 977 H) dalam kitab al-Iqna’ fi Halli al-Fadhi Abi Syuja’ tergolong al-Fudhalat (kotoran) dan al-Mustahilah (sesuatu yang berubah dari bentuk asalnya) seperti kencing dan mamahan unta atau hewan lainnya.
Kemudian Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimiy (w. 1221 H) dalam Hasyiyah al-Bujairimiy ala Minhaju ath-Thullab yang dipertegas oleh Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Salim Al-Hafnawi (w. 1181 H) yang populer dengan sebutan al-Hafnawi menambahkan:
إن مخرج الحاء إنما هو معتبر في الخروج لا في الدخول، يغني أن ما في المعدة إذا وصل إلى مخرج الحاء يقال له قيء وينجس، وأنا الداخل في حال الأكل إذا وصل إلى مخرج الحاء ثم خرج فلا يكون نجس.
“Sesungguhnya tempat keluar huruf Ha’ itu dibuat sebagai batas keluarnya sesuatu dari anggota dalam bukan sebagai batas masuknya sesuatu yang ditelan seperti makanan atau lainnya kedalam tenggorokan. Artinya bila sesuatu tersebut keluar melewati tempat keluarnya huruf Ha’ maka hal itu disebut muntah (najis) sedangkan sesuatu yang masuk pada waktu makan ketika telah sampai pada makhraj huruf Ha’ lalu keluar kembali, maka suatu tersebut tidak dihukumi najis.”
Maka dari itu Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary (w. 987 H) dalam kitabnya Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al-A’in bi Muhimmati ad-Din mengatakan:
(وقيء معدة) وإن لم يتغير، وهو الراجع بعد الوصول للمعدة ولو ماء، أما الراجع قبل الوصول إليها يقيناً أو احتمالا فلا يكون نجسا ولا متنجسا.
“Dan (sesuatu yang najis adalah) muntahan dari lambung, meskipun tidak ada perubahan. Muntahan adalah setiap perkara yang kembali keluar setelah sampai pada lambung, meskipun cuma berupa air. Namun ketika diyakini atau diasumsikan belum sampai pada lambung, maka sesuatu yang kembali tersebut tidak dihukumibnajis bahkan tidak mutanajjis.”
Kongkritnya dari pemaparan ulama di atas bahwa sesuatu yang keluar dari lambung berupa apapun, muntahan bayi atau lainnya tetap dikatagorekan najis atau mutanajjis.
Namun menurut Sayyid Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syato Ad-Dimyati al-Bakriy (w. 1300 H) dalam Hasyiyisah I’anatu al-Thalibin bahwa muntahan ASI dari mulut bayi status kenajisannya masih ditolerir sebagaimana keterangan yang dikutip dari fatwa Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy:
(قوله: وأفتى شيخنا أن الصبي إلخ) عبارة فتاويه: وسئل رضي الله عنه: هل يعفى عما يصيب ثدي المرضعة من ريق الرضيع المتنجس بقئ أو ابتلاع نجاسة أم لا؟ فأجاب رضي الله عنه: ويعفى عن فم الصغير وإن تحققت نجاسته.
كما صرح به ابن الصلاح فقال: يعفى عما اتصل به شئ من أفواه الصبيان مع تحقق نجاستها. وألحق بها غيرها من أفواه المجانين وجزم به الزركشي.
“(Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy) pernah ditanya: Apakah ditolerir atau tidak puting seorang ibu menyusui yang terkena sesuatu dari ludah bayi yang menjadi najis sebab muntahan atau menelan perkara najis?. Beliau menjawab: Ditolerir sesuatu yang keluar dari mulut anak kecil meskipun dapat dipastikan hukum najisnya. Sebagaimana penjelasan imam Ibnu Shalah yang berkata: “Segala sesuatu yang mengenai mulut anak kecil ditolerir meskipun telah jelas hukum najisnya dan disamakan dengan hukum muntahan ASI adalah lainnya yang barasal dari mulut bayi sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Az-Zarkasyi.”
Waallahu A’lamu
Referensi:
? Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawiy| Nahyatu az-Zain di Irsyadi al-Mubtadiin| Darul al-Kutub al-Ilmiyah hal 42.
? Syaikh al-Khatib asy-Syarbiniy| al-Iqna’ fi Halli al-Fadhi Abi Syuja’| Darul al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 105.
? Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimiy| Hasyiyah al-Bujairimiy ala Minhaju ath-Thullab| Daru al-Fikr juz 1 hal 100.
? Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary|Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al-A’in bi Muhimmati ad-Din| Darul al-Kutub al-Ilmiyah hal 19.
? Sayyid Abu Bakar Ustman bi Muhammad Syato Ad-Dimyati al-Bakriy| Hasyiyah I’anah At-Thalibin| Darul al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 145.