Dalam catatan sejarah, sering kita dengar banyak dari ulama besar kita yang produktif menulis hingga karya mereka seakan melebihi usianya. Diterjemah dalam ragam bahasa dan dicetak dari masa kemasa tidak pernah habis hingga menyebar ke santero dunia. Namun dalam Manuskrip aslinya, acap kali kita jarang menemukan catatan biografi mereka bahkan ada yang tanpa nama penulisnya. Baik dihalaman sampul depan (cover) atau di halaman terakhir karangannya –sebagaimana yang kita lihat pada buku-buku umum baik fiksi maupun non fiksi.
Paling yang ada hanyalah alamat tempat atau negara pengarang tersebut berdomisili. Itu pun kadang terlihat kurang jelas dengan hurufnya yang sangat kecil, tidak menyamai atau melebihi besar judul kitabnya dan dalam kitab-kitab mereka. Tidak satu pun pernah dijumpai tulisan hak cipta, dilarang mengcopy atau menggandakan kitab tanpa seidzin penulis seperti yang banyak kita menjumpai di dalam kitab-kitab cetakan modern.
Mereka menulis kitab bertahun-tahun lamanya bahkan ada yang enggan membina rumah tangga karena sebagian banyak umurnya dihabiskan untuk menulis. Mereka hanya ingin melestarikan ilmu Allah ﷻ, semata ikhlas karena-Nya dan melayani kebutuhan umat manusia. Tidak sedikit pun terbesit dalam benak mereka untuk mencari popularitas, loyalti apalagi julukan keren sebagai penulis Big Seller.
Ibnu Mulaqqin dalam kitabnya al-‘Ilamu bi Fawaidi ‘Umdatu al-Ahkam, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 64 menceritakan:
لما عزم الإمام مالك رحمه الله على تصنيف الموطأ، فعل مَن كان في المدينة يومئذ من العلماء الموطآت، فقيل له: شغلت نفسك بعمل هذا الكتاب، وقد شركك فيه الناس وعملوا أمثاله، فقال: ائتوني بما عملوا، فأُتي بذلك، فنظر فيه ثم نبذه، وقال: لتَعْلَمُنَّ أنه لا يرتفع من هذا إلا ما أُريد به وجه الله، فكأنما أُلقيت تلك الكتب في الآبار، وما سمِع لشيء منها بعد ذلك بذكر.
Tatkala al-Imam Malik ra hendak menulis kitab al-Waththa, kala itu banyak ulama di Madinah sudah banyak membukukan (hadits-hadits yang disampaikan Imam Malik ra yang kelak terkumpul dalam satu kitab bernama) al-Muwathatha). Lalu ada seorang yang menanyakan pada Imam Malik ra: (Aku melihat) Anda sibuk menulis kitab ini (al-Muwaththa), bukan sudah banyak ulama yang telah melakukan hal yang sama?”. Imam Malik ra menjawab: “Coba kau datangkan padaku kitab hasil tulusan yang mereka buat”. Tak lama berselang orang itu datang membawa salah satu kitab hasil tulisan mereka dan diserahkan pada Imam Malik ra. Sejenak Imam Malik ra melihatnya hasil namun kemudian melemparnya dan berkata: “Kitab hasil tulisan mereka itu tidak akan bisa mengungguli kitab (al-Muwaththa)ku ini kecuali bila apa yang mereka tulis murni karena Allah ﷻ”. Pasca kejadian itu seakan semuan kitab hasil tulisan mereka terlempar kedalam sumur dan tidak ada satu pun tersisa dari kitab-kitab mereka terdengar kabarnya.”
Syaikh Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi dalam Maqib asy-Syafi’i mengatakan:
قال المزني : دخلت يوماً على الشافعي، وكان يصنّف كتاباً، فقلت له: رحمك الله! إن أصحاب مالك وأصحاب أبي حنيفة صنَّفوا الكتب الكثيرة، ويجتهدون في العلم أكثر من اجتهادك! فقال لي: يا إبراهيم، أليس ترى ما نحن فيه؟! – وكان يتأذى بالبواسير – ثم قال: نُصَنِّف ويُصَنِّفُون، وما كان لله تعالى يبقى إلى الدهر.
Al-Muzanniy menceritakan: “Pada suatu hari aku masuk menemui al-Imam asy-Syafi’i dan beliau dalam keadaan menulis kitab. Lalu aku berkata padanya: “Para Ashab (pengikut) Imam Malik dan Ashab (pengikut) Imam Abu Hanifah berlomba-lomba menulis kitab dan berijtihad menelorkan ilmu baru lebih banyak dari ijtihad Anda!.” Lantas al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Ya Ibrahim! Tidakkah melihat keadaanku saat ini? –pada saat itu al-Imam asy-Syafi’i sedang menderita penyakit Ambeyen– kemudian beliau berkata: Kita menulis dan mereka juga menulis, namun bila tulisan itu bukan karena Allah ﷻ maka hanya akan bertahan setahun (setelah itu akan dilupakan).
Dalam pengantar kitab at-Tambih fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, Daru al-Arqom hal 15 Abu al-Wafa’ bin Aqil, murid Abu Ishaq asy-Syairaziy. Orang yang banyak tahu tetang aktifitas Abu Ishaq mengatakan:
وأخلص القصد في نصرة الحق : ولا صنف مسألة الا بعد أن صلى ركعات – ثم يشير إلى بركة ذلك، وثمرته العاجلة فيقول: فلا جرم شاع اسمه، وانتشرت تصانيفه شرقا وغربا، لبركة إخلاصه.
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairaziy adalah seorang yang selalu ikhalas niat dalam menolong kebenaran, beliau tidak menulis satu masalah ilmu dalam kitabnya kecuali beliau setelah sholat beberapa rakaat–kemudian Abu al-Wafa’ bin Aqil menjelaskan: “Karena barokah dan buah ke ikhlasan Abu Ishaq, nama dan karya-karya beliau dikenal dari ujung Barat hingga ujung Timur dunia.
Waallahu A’lamu
Oleh: Abdul Adzim