Alghaz al-Fiqhiyah
Pada awal-awal masa pembukuan fiqih, belum ada kitab yang membahas khusus masalah Alghaz. Baru sekitar abad ke-7 Hijriyah, muncul beberapa kitab yang membahas khusus tentang Alghaz hingga nyaris semua para penurus imam madzab yang empat mempunyai karya baik yang secara khusus membahas Alghaz atau yang bercampur dengan pembahasan lainnya.
Diantaranya kitab yang menjelas Alghaz secara khusus adalah Al-I’jaz Fi Al-Alghaz karya Diyauddin Abdul Aziz bin Abdul Karim bin Abdul Kafi Al-Jailiy asy-Syafi’i (632 H). al-Alghaz karya Abu Hafash Syarifuddin al-Hammawiy (w. 646 H), Al-Alghaz karya Imam Thabari al-Syafi’i (w. 694 H), l-I’jaz Fi Al-Alghaz karya Ibrahim bin Umar al-Ja’iriy al-Khaliliy (w. 732 H), Jalaluddin Abdurrahim bin Husain al-Isnawi asy-Syafi’i (w. 773 H), Darratu al-Ghawashi fi Muhadharati al-khawash karya Burhanuddin Ibnu Farhun al-Malikiy (w. 799 H), Raddu ala Kitab al-Alghaz li al-Isnawiy karya Ahmad bin Hajajiy (w. 816 H), Khawashi al-Bariyah fi al-Alghazi al-Fiqiyyah karya Yusuf bin Khalid bin Nu’im al-Basathiy al-Malikiy (w. 829 H), al-Alghaz karya asy-Syarif Izzuddin Hamzah bin Ahmad ad-Damsyiqiy asy-Syafi’i (w. 874 H), Hilyatu ath-Thiraz fi Halli Masaili al-Alghaz karya Abu Bakar bin Zaid bin bin Abi Bakr Mahmud at-Taqi al-Hasani al-Jira’i Ad-Dimasyqy al-Hanbali (w. 883 H), ad-Dzakhair al-Asyrafiyyah fi Alghaz al-
Hanafiyah karya Abu al-Walid Abdul Barr bin Muhammad bin Syuhnah, dikenal dengan julukan Ibnu Syuhnah (w. 921 H), al-Alghaz al-Fiqiyah karya Muhammad Dihuni bin Muhammad bin Rasid al-Qasnathabiy al-Hanafiy (w. 1162 H), al-Lathaif ad-Dzauqiyyah fi al-Alghaz al-Fiqihiyyah karya Ahmad bin ahmad bin ahmad binJum’ah al-Nujairami asy-Syafi’i al-Mishri (w.1197 H),at-Tahdzib li Dzihni al-Labibkarya ‘Aauddin ‘Ali bin Abil ‘Iz al-Anshari al-Hanafi, ’Ujalatu an-Nushrah fi Jawab al-Asilah karya Yasin bin Ibrahim bin Taha bin Khalil asy-Syafi’i al-Bashri (w.1185 H).
Sementara Tajuddin al-Subkiy, ulama dari kalangan Syafi’iyyah (771 H) dalam kitabnya (Al-Asybah wa al-Nadzair juz 2, hal 310, Daru al-Kutub al-Ilmiyah) menyediakan bab khusus untuk Alghaz. Tanpa mukadimah, beliau langsung membuka bab khusus itu dengan contoh-contoh materi Alghaz dari yang kuno sampai yang masyhur pada zamannya. Menurut beliau dalam kitab tersebut: “Banyak dari kalangan ulama al-Mutaqaddin dan al-Mutaakhirin yang memberi perhatian khusus untuk menulis kitab Alghaz semisal Abu al-Abbas Ahmad al-Jurjaniy penulis kitab al-Mu’ayah (w. 482 H) dan pendahulunya yaitu Abi Hatim Mahmud bin al-Hasan al-Qazwiniy (w. 440 H).”
Kemudian disusul Zainul ‘Abidin Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H) seorang ulama Fiqih dari kalangan Hanafiyah, dalam kitabnya “Al-Asybah wa al-Nadzair” mengklaim bahwa seseorang tidak bisa dikatakan ahli Fiqih kalau belum menguasai salah satu disiplin ilmu Fiqih ini, yaitu Alghaz. Sama seperti As-Subky, Ibnu Nujaim juga menyediakan bab Alghaz khusus dalam kitabnya. Hanya saja Alghaz dalam kitab Ibnu Nujaim lebih rapi dan teratur. Karena semua Alghaz diklasifikasikan dalam bab-bab Fiqih.
Menurut Tajuddin as-Subkiy Alghaz al-Fiqiyah ini bersumber pada suatu hadits Nabi ﷺ riwayat Abdullah bin Umar ra yang direkam dalam kitab Hadits Shohih Bukhori dan Muslim.
َعَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Sesungguhnya diantara pohon ada satu pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah perumpamaan bagi seorang muslim”. Nabi ﷺ bertanya: “Katakanlah padaku, pohon apakah itu?” Maka para sahabat beranggapan bahwa yang dimaksud adalah pohon yang berada di lembah. Abdullah bin Umar ra berkata: Aku berpikir dalam hati pohon itu adalah pohon kurma, tapi aku malu mengungkapkannya. Kemudian orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, pohon apakah itu?” Beliau ﷺ menjawab: “Pohon kurma”.
Abdullah bin Umar ra berkata: Lalu aku memberi tahu kepada Ayahku (Umar bin Khattab) dengan apa yang terjadi (bahwa aku tadi sebenarnya menabak pohon kurma).
Ayahku berkata: “Andai kau mengatakannya bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma, itu lebih aku sukai daripada ini dan ini.”
Hadits telah dikeluarkan al-Imam al-Bukhariy pada dua tempat. Satu di bab “al-Imam al-Bukhariy melontarkan pertanyaan pada sahabat-sahabat (murid-murid)nya untuk menguji ilmu yang ada pada mereka”. Kedua, di bab “Malu dalam urusan ilmu.
Munurut Ibnu Farhun al-Malikiy (w. 799 H) dalam kitabnya Darratu al-Ghawashi di Muhadharati al-Khawash hadits ini merupakan dalil agar para guru sekali-sekali memberikan pertanyaan-pertanyaan rumit untuk menguji kemampuan murid-muridnya dalam mengurai masalah-masalah dan pelajaran-pelajaran yang ditekuni.
Menurut para alim ulama dalam hadits ini mengandung beberapa faidah hukum yang agung, diantaranya:
1- Seorang guru hendaknya menguji para siswanya terhadap hal-hal yang samar, disertai dengan memberikan penjelasan atas kesamaran tersebut kepada mereka jika belum faham dan agar senang berfikir sebagaimana yang disampaikan Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari 1/146 dan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
2- Memotivasi untuk gemar memahami ilmu, karena itu al-Imam al-Bakhariy menulis bab tentang memaham ilmu sebagaimana yang disampaikan Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari hal 1/146 dan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
3- Boleh membuat Alghaz beserta penjelasannya, hadits ini adalah dalil bahwa Nabi kadang membuat teka-teki ilmiyah dalam kalamnya untuk mengasah kemampuan sahabatnya sebagaimana yang disampakan al-Hammawiy dalam Syarah al-Hammawiy ala al-Asbah wa an-Nadhair dan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
4- Boleh membuat contoh-contoh dan perumpamaan-perumpamaan dalam menyampaikan pelajaran pada siswa untuk menambah kepahaman dan penalaran arti agar melekat dalam hati, menumbuhkan pemikiran dan gagasan-gagasan baru sebagaimana yang disampakan al-Hammawiy dalam Syarah al-Hammawiy ala al-Asbah wa an-Nadhair dan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
5- Terhadap isyarat bahwa pembuat teka-teki harus mengerti indikasi-indikasi keadaan saat bertanya dan tidak boleh membuat teka-teki yang bersifat umum sehingga orang ditanya bingung dan tidak faham dengan maksudnya sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmadi 8/171.
6- Ada tauladan agar mengharmati orang yang lebih tua sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar tetapi ketika yang lebih tua tidak tahu, maka bagi yang lebih muda hendaknya membaritahukan sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarah Muslim bi Syarhi an-Nawawi 18/290.
7- Sunnah merasa malu selagi tidak menyebabkan ketinggalan kemaslahatan karena itu Umar bin Khattab meminta putranya agar diam dan sebab itu Imam al-Bukhari telah menulis bab tentang ilmu dan etikanya sebagaimana yang disampaikan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
8- Seseorang pasti bahagia ketika melihat putranya sukses dan pintar berdasarkan perkataan Umar bin Khattab pada Abdullah bin Umar ra putranya: “Seandainya menjawab pohon Kurma tentu itu lebih aku sukai” karena Nabi sendiri telah mendoakan Abdullah bin Umar ra agar dikaruniai pemahaman yang baik dan dikabulkan doanya sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarah Muslim bi Syarhi an-Nawawi 18/290.
9-Orang alim yang sudah sepuh kadang menyembunyikan ilmu yang diketahui pada orang orang lebih muda karena ilmu adalah warisan Allah ﷻ, pemberian ruhaniyah dan orang yang mulia selalu berada dalam dekapan Allah ﷻ yang menugrahakan pada siapa pun yang dikehendaki sebagaimana yang disampakan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
10- Menunjukkan keistimiwaan pohon kurma sebagaimana yang disampaikan para ahli tafsir saat menafsiri Ayat:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِ ۙ
Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah ﷻ telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS. Ibrahim: 24). Dengan pohon kurma yang akar kuat menancap ke dalam bumi dan cabangnya menenjulang ke langit. Disampaikan Badruddin al-Ainiy dalam Umdatu al-Qari’ 2/15.
Ulama mengatakan: “Rasulullah ﷺ menyamakan pohon kurma dengan orang-orang Islam karena pada pohon kurma banyak manfaatnya, selalu rindang, baik buahnya dan keberadaannya tahan lama. Mulai dari akar, daun dan batangnya, pohon kurma bisa dimanfaatkan seperti buat kayu bakar, tongkat, tikar, tali, wadah dan lainya. Sementar buahnya bisa langsung dimakan sejak mulia berbuah hingga mengering dan setelah kering buah kurma bisa dimanfaatkan untuk olahan apa saja ibarat orang mukmin yang baik dalam segalanya disebabkan ketaatan, ahklak yang mulia, tekut dalam sholat, puasa, membaca al-Qur’an, dzikir, sedekah silaturrahim dan ketaatan-ketaatan lainya.
Waalahu A’lamu
Oleh: Abdul Adzim
Referensi:
? Syaikh Tajuddin al-Subkiy| Al-Asybah wa al-Nadzair| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 2, hal 310.
? Ibnu Farhun al-Malikiy| Darratu al-Ghawashi di Muhadharati al-Khawash| Daru at-Turats al-Qahira hal 37.
? Daktor Abdul Haq al-Hamisy| Mihaju al-Alghaz wa Atsarihi fi al-Fiqhi al-Islamiy hal 16-18.