Al-Alghaz, kata ini tentu tidak asing lagi para Santri yang sering membaca kitab-kitab besar para ulama. Lebih jelasnya al-Alghaz bisa diartikan teka-teki ilmiyah hasil kreativitas ulama. Menurut Al-‘Allamah Jamaluddin Abu al-Fadhal Muhammad bin Mukram al-Anshariy al-Afiriqi al-Miahriy atau yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Mandzur (w. 711 H) dalam Mu’jam Lisanu al-Arabi fi al-Lughah, secara bahasa Alghaz merupakan kata plural (jama’) dari kata yang memiliki arti: Lubang di tanah yang digali biawak untuk dijadikan sarang. Menurut pendapat lain, al-Alghaz adalah tempat persembunyian dari biawak, tikus dan jerboa (jenis hewan pengerat lainya) dinamakan demikian karena hewan-hewan ini menggali lubang lurus kebawah kemudian membuat lubang lain disisi kanan dan kiri untuk mengelabuhi dari pandangan pemangsa.
Secara istilah al-Alghaz, menurut Syaikh Zakariya ‘Umirat saat membari catatan kaki kitab al-Asybah wa an-Nadzair ala Madzhabi Abi Hanifah karya Ibnu Najim mendefinisjkan: “al-Alghaz adalah mengajukan masalah-masalah yang disembunyikan kebenaran hukumnya dengan tujuan menguji ingatan atau kecerdasan seseorang” dan sering diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi teka-teki, tebak-tebakan, asah pikiran dan semacamnya.
Dalam berbagai turats ulama ditemukan varian Alghaz mulai Alghaz Fikiyah, Nahwiyah, Aqudah, Qira’ah, Balaghah, Mantiqiyah dan lainnya namun dari varian yang ada, Alghaz Fiqiyah yang paling menarik untuk dibahas. Selain biar lebih ringkas, Alghaz Fikiyyah yang paling banyak dijumpai disetiap babnya. Semisal Alghaz yang dilontar oleh beberapa ulama pada al-Imam asy-Syafi’i untuk menguji kecerdasan beliau:
Para ulama bertanya al-Imam asy-Syafi’i:
زنا خمسة أفراد بامرأة ,فوجب على أولهم القتل، وثانيهم الرجم، وثالثهم الحد ورابعهم نصف الحد ، وآخرهم لا شيء؟
“Ada lima orang melakukan zina terhadap seorang perempuan, maka orang pertama harus dibunuh, orang kedua dirajam, orang ketiga dikenai Had (hukuman) zina, orang keempat dikenai separuh hukuman zina, dan orang kelima tidak dikenai sanksi apapun?
Jawab Imam asy-Syafi’i:
استحل الأول الزنا فصار مرتدًا فوجب عليه القتل , والثاني كان محصنًا، والثالث غير محصن، والرابع كان عبدًا، والخامس مجنونًا
Orang pertama menganggap zina perbuatan halal, sehingga dia murtad dan dia harus dibunuh. Orang kedua adalah muhshan (orang yang pernah menikah). Orang ketiga adalah ghairu muhshan (belum pernah menikah). Orang keempat adalah seorang budak. Sedangkan orang kelima adalah orang gila”.
Dari semua varian tersebut, bisa disimpulkan isinya seperti gurauan, tapi Alghaz bukan asal jadi, bukan juga seperti gurauan pada umumnya yang bisa diungkapkan begitu saja. Alghaz Fikiyyah semisal merupakan salah satu cabang ilmu yang menginduk kepada ilmu “Al-Qowa’id Al-Fikiyyah”.
Karena hal itu, Syaikh ad-Dokter Abdu al-Haq Hamisy. Seorang ulama pakar ilmu Syariat Islam, Usul al-Fikhi dan al-Fikhi al-Muqarin kelahiran al-Jazair 1960 M, saat memberikan disertasi kuliyahnya tentang Manhaj al-Alghaz wa Atsarihi fi Fikhi al-Islamiy (Metode teka-teki ilmiyah dan efeknya terhadap perkembangan ilmu fikih Islam) mendifinisikan: “Al-Alghaz adalah Problema-problema fikiyyah yang dilontarkan untuk menguji dengan cara menyembunyikan hukumnya karena al-Alghaz sejatinya adalah sebuah ungkapan dari pertanyaan-pertanyaan dan cabang-cabang fikiyyah yang sengaja dibuat oleh al-Mughzi (guru penguji) untuk menguji dan mengukur sebatas mana kemampuan siswa-siswanya dalam menyerap pemahaman ilmu yang telah disampaikan”.
Sejarah Alghaz
Alghaz dalam litelatur ulama ternyata bukanlah hal yang baru, ulama sejak jauh-jauh hari sudah membicarakan hal ini. Memang tidak ditemukan secara gamblang siapa pertama kali yang menciptakan metode ilmu ini dalam kitab-kitab mereka, tetapi ada beberapa baris yang mengisyaratkan kepada itu. Karena memang Alghaz, bukanlah sebuah penemuan baru dalam ilmu syariat yang peroleh melalui Ijtihad atau Istimbat. Mereka hanya mengulang apa yang sudah ada dalam kitab-kitab para Imam fiqih sebelumnya hanya saja dengan gaya yang berbeda.
Konon, orang yang pertama pencetus Alghaz (teka-teki ilmiyah) adalah Nabi Sulaiman as bersama Ratu Bilqis sebagaimana dikutip Syaikh ad-Dokter Abdu al-Haq Hamisy dari para ahli sejarah dalam sebuah makalahnya namun pendapat ini ditentang oleh banyak kalangan karena dasar pengambilannya didengar dari orang-orang terdahulu sebelum datangnya Islam yang tidak bisa dibuat pegangan hukumnya. Karena bisa jadi sejarah atau kisah yang dibuat acuan bersumber dari cerita-cerita Israiliyat (cerita-cerita yang kerap kali dibawa oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam) bukan berasal dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Wallahu A’lamu
Oleh Abdul Adzim
Referensi:
? Jamaluddin Abu al-Fadhal Muhammad bin Mukram al-Anshariy al-Afiriqi al-Miahriy| Mu’jam Lisanu al-Arabi fi al-Lughah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah Juz 5 hal 47.
? Syaikh Zakariya ‘Umirat| Ta’liq Syaikh Zakariya ‘Umirat| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 466.
? Syaikh ad-Dokter Abdu al-Haq Hamisy| Manhaj al-Alghaz wa Atsarihi fi Fikhi al-Islamiy| hal 9-10